Minggu, 05 Agustus 2012

payung misterius


            Hujan turun deras sekali membasahi bumi ini. Aku melihat dari alun-alun kaca jendela kamarku. Mataku tersorot pada seseorang yang berdiri di bawah pohon yang cukup tinggi, di dekat lapangan bola yang tak jauh dari rumahku. Aku tidak tau apa yang dia lakukan di sana seorang diri. Pandanganku tak henti-hentinya melihat lelaki ituyang menggunakan payung kecil yang berwarna hiijau itu.
            “ Apa mungkin dia kembali lagi,?”.
            Tapi enggak mungkin, eh iya dia  sepertinya Imam. Lelaki yang kusukai dan entah mengapa dia meninggalkanku sendirian dalam keadaan rindu yang s’lalu menyerumutiku. Payung itu mengingatkanku dengan kejadian yang dulu, saat itu , hujan turun menyirami bumi. Ketika itu aku dan imam sedang melihat hasil pengumuman kelulusan di sekolah.
            Aku masih ingat betul kejadian itu, dan tak akan pernah terhapuskan di dalam ingatanku.

*****
            Hari ini adalah hari yang di nanti-nantikan, di mana pada hari ini, semua berharap lebih. Karna pengumuman UN yang telah kami laksanankan pada perempatan bulan lalu.
                        “ Tit,,,,,,tit,,,tit”.
            Suara klakson motor matic milik sahabatku putri, pagi-pagi sekali sudah bertengker di halaman rumahku. Rencananya kami akan melihat hasil pengumuman kelulusan bersama. Aku berharap semoga teman-temanku pada lulus semua. Sebelum aku menghampiri putri, aku meminta izin dan do’a ke mamaku terlebih dahulu. Aku sangat sedih soalnya , papa telah pergi meninggalkan kami semua untuk selamanya. Ketika itu aku masih duduk di kelas 5 SDN. Aku ingin papa ngeliat  kebahagian yang aku rasakan, ketika aku lulus dan melanjutkan ke Universitaws yang telah aku impikan di jauh-jauh hari.
           


Kemudian aku dan putri mulai beranjak pergi dari perkarangan rumahku, yang banyak di tumbuhin pepohonan yang cukup tinggi. Aku dan putri terus melanjutkan perjalanan menuju sekolha yang lumanyan jauh dari rumahku. Ketika di tengah perjalanantak sengaja kami bertemu dengan imam dan edi.
                        “ Mau kemana dek , ?”. sahut imam kepadaku
            “ engggak, kami hanya mau liat hasil pengumuman UN,”.
 Sahutku dengan suara yang lantang.
                        “ Owh,,, barengan aja, soalnya kami mau kesekolah jiga ny, mau liat hasil pengumuman ,!”.
                        Lantangnya sambil cebgingisan.

****
        Hujan turun deras sekali hari itu, padahal kemarin terang banget, tapi kenapa hari ini kok bisa hujannya.?”. gumammku.
            Aku ngeliat tanaman-tanaman di perkarangan sekolah, semakin segar nan elok di pandang. Edi sama putri sudah kembali duluan. Soalnya mereka berdua katanya ada urusan sedikit. “ Ntah iya tu,,,?” . kini tinggalah aku sama imam yang mati kedinginan di sebuah bangunan sekolah yang berlantai 2 ini, dengan diding yang berlumuran cat warna pink, serta perkarangan sekolah yang cukup luas. Saat ini, yang masalah kami hadapi hanyalah kendaraan untuk kembali pulang.
            “ Dek, pinjamlah jaketnya, imam kedinginan ny,?”.
                        Ratapan imam kepadaku, dengan kedua tangannya memeluk badannya sendiri dan kakinya yang kegemeteran.
                        “ Bukannya, enggak  mau ngasih bang. Inikan jaket cewek, lagian jaketnyan kecil bang”. Sahutku ke padanya.
            “Owh,, ya sudahlah, enggak  papa kok, oya kita ke asrama yok. Mungkin di sana ada payung atau semacamnya yang bisa kita gunakan , buat pulangntar?”. Omel imam lagi.
            Jujur, sebenarnya sih aku males banget ke asrma, soalnya itukan asrama cowok, sedangkan aku sendiri cewek. Tapi apa boleh buat, aku kasihan ngeliatimam kedinginan kayak gitu,  ntar  kalo imam mati gimana?, di tuduh aku lagi, yang ngebunuh imam. Padahal dia kan cuman mati kedinginan bukanya di Aniyaya.
            “ Berita terkini, telah di temukan sebuah mayat dengan jenis kelamin cowok yang bernama imam, mati kedinginan di perkarangan sekolahnya, gara-gara sang cewek tidak mau nganterin  si cowok ke asrama putra. Sumber dari beberapa saksi mata.”
                        “ iiii...ngak lucu bangetkan.!!!?. hehehehehe
            Akhirnya aku dan imam beranjak pergi dari tempat kami berdiri. Berteduh lagi dan mulai pergi ke asrama cowok. Di perangin ma hujan dikit nggak papa yang penting kami bisa selamat. Padahal cuman hujan biasa, tapi bicaranya luar biasa!!”. Heheheheh
            Ketika kami telah tiba di asrama cowok. Kami hanya bertemu dengan UST Iyan. Salah satu Musyrif di asrama cowok. “Mungkin yang lain pada tiarap di kamar mereka, dengan selimut menutupi semua tubuh mereka. Soalnya itukan kebiasaan anak asrama. Tidur ketika cuaca seperti ini memang menyenangkan sekali. Nyenyak , nyaman dan apa ya.?”. hehehe “lupa”. Akhirnya aku dan imam menghampiri ust iyan. Ust iyan adalah seorang musyrif yang sangat baik hatinya, di mana hanya dirinya yang tau kalo aku dan imam itu pacaran, yang lainnya pada kagaka tau. Kalo ust-ust yang lain pada taumungkin kami tak bersama lagi , atau mungkin aku dan imam tak bersekolah disini. Karna apa?. Peraturan yang tinggal di asrama , kalo ketahuan pacaran bakalan di gundulin terus di permalukan di depan santri-santri lain, ngak kebayangkan di kepala kami berdua, kalo kami ketahuan pacaran.
            “ Assalamu’alaikum ust”.
“Wa’alaikumussalam, owh imam sama hikmah, ada apa atuh.?”.
            Sahutnya dengan logat sundanya yang terkadang masih nempel di lidahnya.
            “ Ngak ada ust,. Tadi kami kan liat hasil pengumuman , Alhamdullilah lulus, eh tau-taunya ujan”. Jawab imam dengan santainya.
            “ Owh, ust dah tau ny, kedatangan kalian berdua, pasti mau minjam payung kan?”.
            “ Kok tau ust”.
“Kita kan sehati, heheheh”. Dengan sapuan seyum di kedua bibirnya. Dan seketika itu juga meledaklah keheningan di tengah hujan itu.
            Setelah meminjam payung dengan ust iyan. Aku dan imam akhirnya beranjak pergi dari asrama putra. Tapi kini mendapatkan masalah terbaru lagi, payungnya kekecilan, hanya muat untuk satu orang saja. Waduh,,,,,percuma ya, kesel  banget sih, pertamanya. Namun pada akhirnya seru juga.
            “Yah payungnya kecil amat. Mana muat untuk berdua”. Gumamku.
            “ Ya udah , ny untuk imah aja,,!”.
“ Ngak , untuk imam aja, kan imam alergi dingin, hihihihih.”.
            Sambil cengingisan aku menatap ke mata imam, wajahnya nampak mayun. Ketika aku mengatakan alergi dingin. Tapi aneh ya, biasanya alergi debu, eh ini alergi dingin.
            “Hmm. Percuma ya, gini deh biar adil, kita  ngak osah memakai payung ini gimana?”.
            “Jangan ntar imam saket”.
                        “ Ngak papa, yng penting kitakan berdua, hhihihihi!!”.
            Akhirnya payung yang kami pinjam tdi, tak kami gunakan. Hanya di jadiin model gaya . guyuran hujan membasahi tubuh kami. Dalam sekejab saja sekujur tubuh kami bash kuyup. Di pikiranku tah apa yang aku pikirkan, yang ada hanyalah bayangan kebahagiaan ketika aku bersama imam. Tak satupun aku bayangkan apakah nantinya aku bakalan sakit atau , apalah yang penting saat ini aku sangat bahagia dengan dirinya.

****
            Tetesan embun kesejukan mulai mengalir di kedua pipi ini, dan hujan pun dari tadi turun menguyur bumi ini tanpa henti-hentinya . aku mengusap air mataku dengan kerudung biru , yang aku gunakan . rasa penasaranku terus-menerus merasuk ke pikiranku.aku bergegas mengambil payung di dapur, setelah itu aku mulai menghampiri lelaki yang menggunakan  payung misterius itu. Tapi kenyataan berkata lain, lelaki payung itu menghilang nta kemana. Aku yakin ini bukanlah hayalanku. Tapi ini keyataan. Tapi kemana lelaki payung itu pergi?.
            Akhirnya aku berlari menuju pohon tinggi itu. Aku tak menemukan seseorang pun di sana, yang aku temukan hanyalah bunga origami berwarna biru di tanah yang basah setelah beberapa butiran hujan mengenai tanah di bawah tepat di bawah pohon tinggi. Aku yakin dia adalah imam , aku yakin betul ! dengan bunga origami biru inilah , aku bisa yaki 100% !. Saat kami bersama dulu, aku dan imam suka banget bikin bunga origami yang berwarna biru.
            Tapi mengapa imam pergibegitu saja dariku. Apa imam tidak ingin bertemu dengan ku ataukah imam tak kangen sama aku?.
            Tapi mengapa imam menampakan sosoknya. Di hadapanku?.
Ah,,,,aku ngak ngerti apa yang sedang terjadi. .. Aku binguuuuuuu???.
            Setelah itu , aku tidak ingat apa-apa, dunia terasa gelap...?.

*****
Di kisahkan oleh sahabat kita NUR HIKMAH , ini adalh kisah nyata dia, ketika dirinya curhan sama kawan_creative.com

                        Tetaaplah semangat ya sahabatku. Jangan pernah lemah dengan seorang cewek dan sebaliknya juga, seorang cewek jangan pernah mau di buat lemah oleh seorang cowok. Yakinlah bukan hanya dia satu-satunya cowok. Gapailah cita-citamu sahabatku

Karya: eko wahyudi

sumber : kawancreative.blogspot.com

sedang sedih


Kisah Cinta Paling Sedih dan mengharukan. Menurut saya pribadi menilai kisah inspiratif ini sebagai kisah paling mengharukan di dunia karena saya yakin siapa yang membaca Kisah Cinta Paling Sedih nyata seorang ibu yang telah ditinggal pergi suaminya pasti akan menangis, pasti terharu karena memang kisah ini paling sedih menurut saya adminKata kata Romantis. Saya berharap kamu penasaran sebelum membaca kisah paling sedih ini, siapkan tisu, kalau kebetulan kamu membaca kisah paling menyedihkan di kamar sendiri, lebih baik sambil nyalain musik bertema sedih juga seperti lagu-lagunya Sulis lah baiklah, silahkan kamu baca kisah paling sedih di dunia yang telah saya ambil dari Kata kata Romantis. 
Kisah Cinta Paling Sedih
Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur untuk apa yang kita miliki : 
Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri. Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka. Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku. Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku. Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya. Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami. Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku. Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi. Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya. “Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut. Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??” “Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu. Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah. Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas. Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis. Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara. Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku. Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya. Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku. Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya. Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku. Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia. Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku. Istriku Liliana tersayang, Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu. Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang. Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku. Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy! Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note. Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta. Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi. Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?” Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.” Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?” Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.” Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus. Bagaimana pendapat kamu dengan “Kisah Cinta Paling Sedih” atau cerita paling mengharukan di atas ? saya rasa kamu mulai ingusan dengan mata merah sedikit netesin air mata. Bener kan ? Tolong share ke temen-temen di facebook dong atau like nih kisah paling sedih
Description: Kisah Cinta Paling Sedih Rating: 3.5 Reviewer: ROMANTIC ItemReviewed: Kisah Cinta Paling Sedih